Laman

ERMAN, PETANI SOLOK YANG TIDAK PERNAH MATI


ERMAN, PETANI SOLOK YANG TIDAK PERNAH MATI

Oleh Rici

Solok Selatan tetesan air embun pagi seolah menghiasi suasana kering di hati. Hari masih menunjukan pukul 05.30 terlihat sosok tubuh laki-laki kekar serta rambutnya yang sudah beruban keluar dari sebuah rumah. Pagi begitu dingin tetapi laki-laki ini tidak peduli dan terus berjalan membawa cangkul menuju sawah yang terdapat di kaki bukit barisan. Ia tidak gentar melawan  hawa dingin yang masih beku menyelimuti suasana pagi. Berjalan dan terus berjalan hingga sampai di sawah  ia langusung mengayunkan cangkulnya. Dan pastinya kita dapat mengira bahwa laki-laki ini adalah bagian dari potret perjalanan yang kita sebut dengan  petani.
Entah apa yang ia pikirkan tentang kehidupan saat ini. Lumpur-lumpur serta udara dinggin ia masih bertahan mengayunkan cangkulnya di sawah-sawah yang luas itu. Di balik tubuhnya yang kekar tampak wajah yang  kelelahan dan kurang tidur, terlihat pakaiannya yang berlumpur serta topi yang menutup kepala yang beruban itu. Dengan  santun ia menyapa teman-temannya yang datang berbondong-bondong mengolah sawah bersama-sama  yang dinamakan lambiah ari. Yaitu pekerjaan pemilik sawa yang dikerjakan secara bersama-sama, dan selanjut mengerjakan sawah anggota lainnya tanpa di gaji tapi dibayar dengan tenaga.
 “ nama saya Erman nak”, jawab laki-laki paruh baya ini dengan pelan ketika ditanya tentang nama yang ia sandang dengan aku sebagai “ anak si tukang ingin tahu ini” yang telah menggikutinya dari rumah sampai ke sawah dan berdiri dipingir sawah tapat dihadapnya.
 Bapak Erman  ternyata tidak sendiri, di sawah ini ada tiga orang yang berprofesi sama, namanya Zulzen 46 tahun, Sipir 45tahun, dan Argum 41tahun mereka semua adalah berteman dekat. “5 orang , nak” jawab bapak Erman ketika ditanya tentang jumlah anaknya. Menjadi petani bukanlah pilihan hidup baginya akan tetapi menjadi keharusan yang ia jalani dalam menghidupi anak-anaknya di rantau orang. Pekerjaan bapak dari 5 anak ini merupakan pekerjaan yang teguh ia jalani lantaran di Solok Selan rata-rata profesi masyarakat sebagai petani. Dan lantaran himpitan ekonomi yang melanda  keluarganya, akhirnya hal klise itulah melemperkan dirinya menjadi petani yang ia lakukan sampai sekarang ini. Meski ia tidak tamat sekolah dasar namun cita-citanya untuk membesarkan anak-ankanya sampai menyerahkan  ke jenjang perguruan tinggi. Hari semakin siang dan petani-petani saatnya sarapan pagi di pondok-pondok kecil yang terdapat di tengah-tengah sawah  mereka duduk beralaskan jerami serta  tertawa bersama-sama.
Ia masih saja tak berhenti dan terus bercerita tentang sekelumit cerita hidupnya meski sebenarnya aku lah yang mengorek dan ingin mengetahui cerita detail kehidupannya itu. Telah banyak orang yang turun ke sawah dan itu menandakan semua petani melanjutkan pekerjaannya dan akupun mengiringgi bapak paruh baya ini turun ke sawah. Dengan bermodalkan cangkul ,topi dan sabit bapak Erman berjuang mencangkul sawah-sawahnya. Resiko sakit, panas hujan pun ia tidak peduli. Karena ia yakin dengan cepat menyelesaikan sawah-sawah ini ia dapat panen dengan cepat pula. Apabila ia lambat mengolah sawah ini maka akan lambat pula ia panen. Sedangkan keluarganya dapat dibilang bergantung juga pada hasil sawah yang ia kelolah. Pendapatan yang ia terima per 3bulan yaitu 1000 padi dari lahan yang ia olah. 1000 padi ini sama dengan 600 liter beras per bulannya.
 Hasil 1000 padi ini ia berikan untuk anak-anaknya yang berkuliah di Padang. Mungkin karena faktor inilah bapak Erman harus menafkahi anak dan keluarganya. Biasanya ia juga bekerja mengambil karet diladang apabila sawah-sawahnya sudah ditanami bibit benih padi. Sambil menunggu panen ia mengisi waktunya dengan kegiatan itu.dan dari tambahan mengambil karet ini dapat memenuhi perekonomian uang belanja dapurnya. Pendapatan dari mengambil karet ini yang ia terima 150000 perminggunya. Anaknya pertama dan kedua telah menikah. Sekarang  tanggung  jawabnya dari anak ketiga sampai anak kelima. Anak  ketiga sampai kelima  berkuliah di perguruan tinggi di kota Padang dua orang di UNAND dan  satu orang STKIP PGRI dengan biaya yang minim seorang bapak ini terus maju menyerahkan anaknya untuk berkuliah di perguruan tinggi. Banyak hal yang ia lalui namun ia  tetap semangat mencari nafkah supaya anaknya tidak kekurang dinegeri orang.  Setiap paginya bapak Erman berangkat dari rumah menuju ladang untuk mengambil karet dan sekitar pukul 10.00  ia pergi ke sawah, kegiatan seperti ini ia lakukan apabila sawahnya sudah ditanami. Apabila belum maka ia pergike sawah pada pagi hari. Meski anaknya bertiga berkuliah di negeri oranga ia bangga dan semangat untuk bertani. Bapak Erman dengan bercita-cita supaya anaknya menjadi orang yang tidak sama dengan nasib orang tuanya. kalau dapat berandai-andai anak-anaknya lebih dari orang tuanya yang hanya sebagai petani yang bercampukan lumpur mencari sesuap nasi untuk keluarga. Ungkap bapak Erman yang ketika ditanya harapan dan cita-citanya. Ia hanya mampu bernada datar dan meneteskan air mata menginginkan anak-anaknya untuk dapat sukses di kemudian hari dan anak-anknya dapat hidup dengan tentram dengan pengabdian serta jasa yang ia persembahkan untuk anak-anaknya. “Harapan  lumpur menjadi nasi”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar