Laman

Mengumpulkan Recehan Untuk Menunjang Perekonomian


Mengumpulkan Recehan Untuk Menunjang Perekonomian
Oleh Septia Tania Putri


Lubuk Sikaping di Titik Nol Perjalanan ini berliku-liku seperti ular sempoyongan, mengejar kabut-kabut tipis di lereng-lereng perbukitan hijau. dikepung pemandangan surgawi, untuk menemui keindahan alam  yang terbiarkan di sana selama beberapa generasi. Penduduk Lubuk sikaping rata-rata mata pencariannya adalah bertani, dan berdagang. Jadi sebagian besar dari mereka sudah mulai turun ke sawah pada saat sang surya mulai terbit, dan pulangnya ketika matahari terbenam.
Dibutuhkan sekitar lima jam perjalanan dengan mobil pribadi dari Kota Padang, menuju Lubuk Sikaping. Ada sebuah Jarak dari ujung jalan beraspal untuk sampai ke kantor wali nagari desa benteng yang diperkirakan sekitar dua kilometer, tetapi menanjak dengan kemiringan antara 20-60 derajat. Perjalanan ini dimanjakan oleh hamparan sawah yang terbentang luas dan sempurna, sesempurna cerita tentang tanah air Indonesia nan elok permai. dari symbol keindahan alam tersebut tentunya orang sudah tau kalau sebahagian besar perekonomian  masyarakat di sini ditopang dengan bertani. Sulit memilih kata untuk mendeskripsikannya ketika membaui wewangian padi yang menguning dan tanah lembab yang terinjak, ketika kabut mendekat, memeluk tubuh, mengusir lelah, dan menyerap keringat.
seorang petani paruh baya yang dengan  keahlian tangan kekarnya tengah menyiang ladang padinya yang sudah mulai menguning. Pak Parisal (58 tahun)  yang sedari mudanya mulai menopang kehidupan ekonomi keluarganya dengan bertani, cukup senang dengan profesi yang disandangnya tersebut. Tangan kekar  yang dulunya masih kencang kini sudah mulai keriput seiring dengan berjalannya waktu. “ Bapak cukup senang kok, walaupun Cuma jadi seorang petani tapi bapak masih mampu memberi makan satu orang istri dan empat orang anak bapak yang pentingkan tidak mencuri uang negara ujarnya’’, dengan wajah yang berlepotan tanah itu tersipu ketika saya wawancarai digubuk sawahnya. Rambutnya agak kemerah-merahan sedikit, Kulitnya bersisik, karna terpanggang oleh sengatan mentari setiap hari.
 Disela-sela tanaman padinya pak Parisal menanam singkong dan jagung  untuk sedikit memenuhi kebutuhan sehari-hari dan keperluan sekolah anaknya, karena padi baru bisa dipanen setelah usianya tiga bulan. Kalau hanya menunggu panen padi tersebut tentulah dihari-hari sebelum panen pak Parisal tidak bisa memberi uang istrinya untuk membeli cabe dan lauk pauk. Rata-rata penghasilannya perminggu hanya lebih kurang sekitar lima puluh ribu rupiah, tetapi kalau panen padi sudah tiba ia bisa mengantongi uang sebesar satu juta lebih dikantongnya dan itupun tidak tetap. Kalau pada bulan itu sedang untung dan panen berhasil maka berbahagialah pak Parisal karena ia bisa mendapatka uang yang lumayan dari hasil penjualan padinya tersebut, tapi jika panen gagal maka pak Parisal harus bisa bersabar dan tetap semangat karena hidup tidak berhenti hanya sampai disitu.  
Memang perekonomian di Indonesia saat ini sedang tidak stabil. Sementara harga kebutuhan pokok semakin melonjak. Akan tetapi hal itu tidak harus membuat kita berputus asa. Apapun pekerjaan yang bisa dilakukan maka lakukanlah untuk bertahan hidup, asalkan pekerjaan tersebut halal. Tidak mungkin kita menunggu bantuan dari pemerintah sementara perut sudah keroncongan. kenyataan ini sangat disadari oleh masyarakat Lubuk Sikaping. Oleh kerena itu mereka melakukan berbagai cara untuk menopang perekonomian mereka, seperti bertani, berkebun, berdagang berternak atau bahkan menjadi kuli bangunan. Saniar (46 tahun) janda yang harus mencari nafkah sendiri untuk keluarganya ini mengungkapkan “ kalau tidak kita yang merubah hidup kita sendiri lalu siapa lagi, menunggu bantuan pemerintah, sangat tidak mungkin. Makanya saya  lebih baik menjadi pedagang sayur keliling agar bisa mengumpulkan uang recehan, karena saya dan anak-anak butuh makan” ujarnya dengan penuh semangat.
Kabut turun ketika saya tiba di rumah Wali Nagari Benteng. Uap putihnya menerobos pepohonan. “Kabut ini pertanda baik bagi kami,” kata Amir Furqan (44 tahun). Pada setiap tamu yang datang, Amir Furkan selalu mengharapkan pencerahan hidup untuk warganya. Janji pemerintah, hanya tinggal janji katanya. Meski penghidupan ekonomi sangat sulit, warga Desa Benteng tidak mau mengemis, “Malu,” sergah Amir Furqan. Mereka memilih bekerja keras dengan hasil yang kadang cukup dan kadang sangat tidak memadai. Mereka biasa berjalan kaki hingga 10 kilometer dengan beban 50 kilogram di punggung. Pendapatan itu dipakai untuk membeli cabe, dan lauk pauk sebagai pencampur makanan pokok dan kebutuhan lainnya.Jika uang habis, warga mencari kayu bakar. “Satu pikul harganya Rp. 10.000. Dengan situasi seperti itu, cita-cita yang tinggi  menguap dari kamus anak-anak petani tersebut. Mereka berharap kelak mampu merubah ekonomi keluarga menjadi lebih baik. Keinginan terbesar mereka untuk membahagiakan orang tua yang selalu  bekerja keras membanting tulang melambung tinggi bersama cita-cita mulia untuk menjadi manusia yang lebih berguna.
Perjalanan ini cukup melelahkan saya, tapi semua terobati dengan menyaksikan keindahan alam dikampung halaman tercinta, sekaligus menguak sedikit perekonomian warga sekitar. Semoga hal ini bisa menjadi pembelajaran buat kita semua. Senja kini mulai beranjak malam, kunang-kunangpun sudah menampakkan cahayanya. Bulan purnama ikut tersenyum di atas sana melihat kedamaian yang sudah mulai tenang, dari hirik pikuk kehidupan dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar